OLISOU TIDORE, MEMILIH BERTAHAN ATAU MENUJU PUNAH?

Berbicara tentang sastra lisan atau yang lebih sering dikaitkan dengan istilah folklor, ada yang menyebutnya sebagai ‘budaya rakyat’ atau folklor itu sendiri karena sastra lisan merupakan bagian dari folklor. Folklore berasal dari kata folk dan lore. Folk adalah kelompok orang-orang yang mempunyai ciri-ciri pengenal kebudayaan yang dapat membedakan dari kelompok lain, lore adalah tradisi dari folk. Ia diwariskan secara turun-temurun melalui cara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan perbuatan (Hutomo, 1991:6). Danandjaja dalam Hutomo (1991:5), folklore adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Folklore adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradition) yang hidup dalam suatu kebudayaan lisan (oral culture). Taum (2011: 21) merumuskan bahwa sastra lisan adalah sekelompok teks yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang secara intrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultural dari sekelompok masyarakat tertentu.
Sebagaimana dalam konsepnya, antara sastra lisan dan tradisi lisan tidak bisa dipisahkan, hal demikian yang ditemukan di Kota Tidore Kepulauan. Keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri karena hadirnya sastra lisan Tidore bersamaan dengan tradisi lisan masyarakatnya. Antara sastra lisan dan tradisi lisan masih kuat dan hidup di kalangan masyarakat Tidore. Keduanya dilakukan bersama pada acara atau ritual-ritual sehingga masyarakat Tidore menjadikan sastra lisan sebagai pedoman hidup. Kehadiran sastra lisan di Tidore Kepulauan memberikan hal positif kepada masyarakat karena diyakini dapat membantu mereka dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Hal inilah yang membuat sastra lisan Tidore masih dipertahankan di seluruh kecamatan yang ada di Kota Tidore Kepulaun.
Mantra adalah sastra lisan berjenis dan berunsur puitis, berisi kata-kata berupa jampi-jampi yang mengandung makna kekuatan gaib, misalnya, dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka dan sebagainya. Isi mantra dapat mengandung bujukan, kutukan atau tantangan yang ditujukan kepada lawannya untuk mencapai suatu maksud, melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam maupun di belakangnya, diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Menurut Yelle (2003:11) jika kita ingin mengenal apa itu mantra dan bagaimana mantra itu bekerja maka, kita mulai dengan mengamati karakteristik formal mantra terlebih dulu. Ia menjelaskan bahwa mantra adalah suatu pengucapan yang berulang, bahkan berkali-kali. Struktur internal sebuah mantra sering menunjukkan berbagai bentuk pengulangan atau perangkat puitis mirip dengan yang ditemukan dalam mantra, nyanyian dan ritual pada budaya lainnya. Perangkat ini meliputi aliterasi (pengulangan bunyi konsonan dalam baris-baris karya) terutama dari iramanya, dan kosakata yang tampaknya tidak masuk akal, direduplikasikan atau kata-katanya berulang-ulang.
Orang Tidore menyebut mantra sebagai olisou. Olisou adalah kalimat sakral yang diyakini mampu menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Sastra lisan ini, menurut beberapa sumber di Tidore, ada sejak zaman Momole. Mantra dituturkan sendiri, membutuhkan tempat yang steril (sunyi) tidak menggunakan alat musik. Tuturan dilakukan pada media yang berbeda sesuai dengan kegunaannya. Mantra atau olisou terdiri dari beberapa jenis yakni, 1) beto, 2) baliga, dan 3) pandarifa.
Beto adalah mantra yang diucapkan dengan nada ratapan pada saat memulai ritual tertentu, misalnya pada ritual koro dan karo Jin (memanggil makhluk halus). Beto hanya bisa dilafazkan oleh Sowohi (juru kunci) pada sebuah tempat yang keramat. Baliga merupakan mantra sihir yang bertujuan untuk melumpuhkan atau mematikan seseorang. Baliga bisa dilakukan oleh siapa saja dengan tata cara yang khas dan bersifat rahasia. Baliga terbagi tiga yaitu tonoga, doti, dan talbagu. Tonoga merupakan mantra yang dapat melumpuhkan anggota badan khususnya otot. Doti merupakan mantra yang dapat menghancurkan anggota badan khususnya otak dan jantung. Talbagu merupakan mantra yang diletakkan pada media seperti batu atau tali untuk melumpuhkan anggota badan khususnya kaki.
Pandarifa adalah kalimat sakral yang dibacakan dengan nada ratapan untuk memengaruhi jiwa seseorang. Mantra jenis ini bisa dilakukan sendiri maupun dilakukan ahli dengan menggunakan media seperti suara, air, foto, bantal, rokok, gawai, surat, dan bedug. Pandarifa lebih banyak digunakan pada area perasaan misalnya perebutan hati, kecewa, cinta ditolak, suami selingkuh, dan sebagainya. Selain itu, pandarifa juga bisa mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Pandarifa tidak bisa dipraktekan secara umum karena berakibat buruk bagi manusia. Jenis-jenis mantra ini masih hidup dan masih dikenal oleh masyarakat Tidore sampai saat ini.
Olisou menggunakan Bahasa Tidore dan biasanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang sudah dianggap lihai atau guru dalam membacakannya. Selain itu, dalam tradisi membuat olisou menggunakan media yang berbeda-beda tergantung pada ritual tertentu. Seperti menyanyi atau dupa (kemenyan), kain putih, nasi kuning, telur berjumlah ganjil 3,5,9 atau 11, dan satu gelas air. Semua wadah tersebut diletakan di atas meja puji yang kemudian dipandu oleh seorang pawang untuk membacakan olisou dengan maksud dan tujuan yang diperuntukan.
Tidore memiliki keunikan tersendiri karena budaya yang ada di masyarakat Tidore lebih banyak menggunakan “budaya tutur” daripada “budaya tulis” di mana sejarah lebih banyak diceritakan secara turun-temurun dari pada didokumentasikan dalam bentuk tulisan (Abubakar, 2016.) Jika kita kaitkan dengan mantra atau olisou maka, olisou juga ikut andil dalam prosesi pelantikan sultan dengan menggunakan dua cara itu, yakni perangkat alam nyata dan perangkat alam gaib karena sudah pasti menggunakan mantra atau olisou pada pelantikan itu.
Mantra atau olisou bagi masyarakat Tidore dijadikan sebagai pegangan hidup. Artinya, olisou tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Tidore. Olisou walaupun sudah tua usianya dan tidak lepas dari ciri tradisionalnya serta bersifat anonim karena tidak ada pengarangnya tetapi masih bertahan di era globalisasi seperti saat ini. Selain itu, mantra seakan-akan memegang kunci penting dalam kesuksesan pertanian, hal ini ditandai dengan ritual-ritual yang mengiringi proses aktivitas pertanian baik skala kecil maupun skala besar. Hal inilah yang membuat mantra atau olisou memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Tidore. Fungsi lain sebagai sistem proyeksi, Olisou hadir di tengan-tengah masyarakat Tidore untuk membentuk watak masyarakat Tidore serta patuh pada norma-norma yang berlaku. Artinya olisou digunakan pada masa lampau oleh nenek moyang dengan tujuan agar norma-norma adat tetap dijaga sehingga menjadikan masyarakat Tidore yang lebih baik dengan aturan dan norma yang berlaku. Selanjutnya berfungsi sebagai kontrol sosial dan pengesah masyarakat kebudayaan, bahwa olisou digunakan oleh masyarakat Tidore untuk mendidik agar manusia hidup sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat karena olisou dapat melindungi dan memberikan petunjuk yang baik dan yang salah dalam kehidupan masyarakat Tidore.
Fungsi berikut sebagai alat pendidikan, dengan melaksanakan ritual olisou juga dapat mempererat hubungan kekerabatan atau kekeluargaan antar sesama masyarakat Tidore. Komunikasi yang baik ketika sedang berkumpul, serta menanamkan dan menumbuhkan nilai edukasi rasa cinta persaudaraan. Selain itu, dengan melakukan ritual olisou berarti ikut menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada leluhur sebagai pewaris sastra lisannya. Fungsi lainnya sebagai doa karena digunakan pada berbagai tradisi upacara adat sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Fungsi yang terakhir adalah untuk mempertahankan bahasa daerah Tidore karena dalam membuat ritual olisou kebanyakan syairnya menggunakan bahasa Tidore.
Olisou di Tidore dianggap memiliki nilai sakral atau mistik yang sangat kuat. Mantra dengan segudang fungsi dan manfaatnya dalam masyarakat bukan sebuah jaminan akan mampu bertahan untuk beberapa tahun ke depan. Sistem pewarisan kepada generasi muda yang masih minim karena bahasa dalam mantra atau olisou agak susah dipahami oleh generasi muda dan anak-anak. Sebagian besar anak-anak muda tidak mampu menggunakan olisou karena dianggap sakral tetapi dalam pelaksanaan olisou mereka hadir dan turut menyaksikan proses ritual tersebut.
Keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh gencar globalisasi serta karakteristik generasi milenial yang cenderung berpikir pragmatis membuat olisou tidak menjadi prioritas untuk dipelajari. Selain itu, ketiadaan dokumen baik dalam bentuk buku ajar bermuatan lokal maupun dokumen lain menjadikan olisou tidak banyak terekspos ke generasi muda. Padahal mereka sebagai generasi penerus warisan leluhur wajib mengetahui sastra lisan olisou Tidore agar tidak hilang dan tetap bertahan pada era yang akan datang.
Abubakar, Fardi. (2016). Tidore Kerajaan Dua Alam: Dari Moloku Kie Raha ke Papua. Jakarta: PT Tollegi.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (HISKI).
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Yelle, R. A. (2003). Explaining Mantras: Ritual, Rhetoric, and the Dream of a Natural language Hindu Tantra. https:// doi.org/ 10.4324 /9780203483381
Sumber :Harian Malut Post, Edisi Sabtu, 18 Desember 2021